.
.
Datu Pangganagana adalah
anak ke empat dari Op. Raja Jae-jae yaitu : Op.Tuan, Op. Sotargoling Op. Mogot, Datu Pangganagana
Sedangkan anak dari Namorahian (Raja Jae-jae, Bonandolok, dan Parumarea)
Perbedaan ini telah membawa dampak yang berkepanjangan, bahkan perpecahan diantara keturunan Op. Datu Pangganagana. Kelompok I akhirnya mendirikan Tugu Op.Datu Panggana-gana di SIMANAMPANG tanggal 16 Juli 1983 menurut mereka sendiri yang menyatakan bahwa Op. Datu Panggan-gana adalah anak Ke-empat dari Namorahian. Hal ini tentunya mempengaruhi posisi dan pengaruh dalam ADAT yang dijalankan. Jambar untuk Keturunan Namorahian akan dibagi empat, sedangkan Keturunan Op.Raja Djae-Djae akan dibagi tiga. Dan di dalam keturunan Namorahian Datu pangganagana akan menjadi Adik bagi keturunan Bonandolok dan Parumarea. Hal lain juga berpengaruh, adalah masalah Nomor urut marga. Kelompok I mengkalim Op.Datu Panggangana adalah Nomor 5, sedangkan Kelompok II mengklaim Op.Datu Pangganagana adalah Nomor urut 6.
Perbedaan ini berlanjut terus, dan akhirnya membawa persengketaan. Bagi yang menganut faham Kelompok I, mereka hanya akan membagi 3 jambar bagi Keturunan Raja DjaeDjae. Demikian juga Bagi Kelompok II akan membagi jambar 4 bagi keturunan Raja DjaeDjae. Hal ini telah membawa banyak masalah dan sakit hati dalam setiap acara Adat yang berlangsung.
Akhirnya dicarilah kesepakatan untuk menentukan posisi Op.Datu Panggana-gana yang sebenarnya sesuai dengan sejarahnya, dan Paradaton yang berlaku pada masa dahulu kala pada keturunan NAMORAHIAN dan OP.RAJA DJAE-DJAE. Dan ditemuakanlah sejarah (cerita) yang sebenarnya tentang kejadian yang terjadi masa itu. Bahwasanya Op.DATU PANGGANAGANA adalah anak ke-empat dari Op.Raja Djae-Djae. Dan itulah yang berlangsung dalam setiap acara adat dahulu kala.
Namun hal ini mendapat perlawanan dan penolakan dari kelompok I, mereka tidak setuju bawah Op.Datu Pangganagana adalah anak dari Raja Djae-djae. Sehingga Akhirnya dibawa Kepengadilan Negeri Tarutung dan dimenangkan oleh pihak ke II sesuai surat Putusan Pengadilan Negeri Tarutung Tgl 9 Mei 1984 No.13/Pdt.P/1984/PN.Trt yang menyatakan Bahwa Op.Datu Panggana-gana adalah anak keempat dari Raja DjaeJae. Pihak I tidak puas dengan keputusan itu dan akhirnya melakukan Banding sampai ke Mahkamah Agung. Akhirnya Mahkamah Agung menetapkan bahwa Silsilah yang benar adalah surat Putusan Pengadilan Negeri Tarutung Tgl 9 Mei 1984 No.13/Pdt.P/1984/PN.Trt yang menyatakan Bahwa Op.Datu Panggana-gana adalah anak keempat dari Raja DjaeJae yang tertuang dalam Surat Keputusan Mahkamah Agung Tgl. 31 Agustus 1988 No. 3506 K/Pdt/1986 yang berkekuatan hukum tetap. Tetapi Pada tahun 1989 Kembali pihak I membuat Peninjauan Kembali (PK) Surat Keputusan Mahkamah Agung Tgl. 31 Agustus 1988 No. 350 PK/Pdt/1986 ke Mahkamah Agung berdasarkan bukti baru yang mereka temukan. Tetapi akhirnya Mahkamah Agung MENOLAK PK tersebut sesuai Surat Keputusan MA No. 452 PK/Pdt/1989 tanggal 22 OKTOBER 1992. sebab bukti-bukti itu tidak kuat dan tidak dapat diterima. Demikianlah seterusnya sampai hari ini dalam silsilah bahwa Op.Datu Pangganagana adalah masuk sebagai anak dari Op.Raja Djaedjae. Dan tugu yang sudah ada dibangun di SIMANAMPANG tanggal 16 Juli 1983 Tapanuli Utara tersebut akhirnya dirubuhkan dan dinyatakan tidak sah dan merupakan pelanggaran hukum.
Demikianlah hingga hari ini, surat putusan itu sah berkekuatan hukum, dan setiap orang atau kelompok yang melaksanakan tarombo yang lain dari putusan itu dinyatakan tidak sah dan perbuatan melanggar hukum (menurut surat keputusan MA 22 Oktober 1992 No. 453 PK/Pdt/1989).
Berikut sebagian data-data yang mendukung Pengadilan Tarutung dan Mahkamah Agung memenangkan Pihak II bahwa Op. Datu Panganagana adalah sah sebagai anak ke-4 dari Op.Raja Djaejae:
- Tangal 4 September 1978 di Huta Sampe Tua Tarutung diadakan Pesta adat peresmian tugu Op.Datu Pangganagana sebagai anak ke-4 dari Op.Rja Djaejae yang berlangsung aman dan meriah.
- Selasa, 28 Desember 1982 di Huta Sampe Tua Onan Gadu-Gadu Tarutung diadakan Musyawarah bersama dan telah mengadakan Kebulatan tekad tentang adat dan Tarombo yang disebut PESTA BIUS (Hasadaon Dohot Hatotaon di Pinompar ni Op.Raja Djaedjae Lumbantobing) yang dihadiri oleh masyarakat turunan Op.Datu Panggana-gana dari Simanampang (Pihak I dan II) serta disaksikan Muspida dan Kepala-kepala Adat.
- Tanggal 11,12,13 Juli 1983 di Huta Sampuran Parbubu Julu Tarutung. Dilakukan Pesta sesuai dengan hukum adat Batak dan dilakukan Pesta Memukul Gondang/Ogung Sabangunan didepan umum untuk meresmikan hasil dari kebulatan tekad itu bawah Op.Datu Panggana-gana adalah anak dari Op. Raja Djaedjae.
- YANG TERBARU pada Hari : Jumat , Tgl : 11 - 11 – 2011, bertempat di lokasi Huta Parbubu Sampetua diadakan acara partangiangan pengucapan syukur RENOVASI HINAMBOR Op.DATU PANGGANAGANA LUMBANTOBING dan OMPU DATU SORMIN LAUT br. SIAHAAN yang berjalan dengan baik, dihadiri pomparan Op.Datu Pangganagana dari berbagai daerah, Bona Pasogit, Jakarta, Jambi, Medan, Pematang Siantar, Barumun dan lain sebagainya. Baik pomparan Op.Nangon, Op. Lampas dan Op.Tawen turut bersama-sama dalam melaksanakan acara syukuran tersebut. Demikian juga Hula-hula SIAHAAN (Tulang dari Op.Datu Pangganagana) turut serta di dalam acara syukuran yang diadakan.
Tentunya menjadi pertanyaan bagaimana sebenarnya sejarah kelahiran Op.Datu Panggana-gana?
Berikut adalah sejarah kelahiran Op.Datu Panggana-gana yang dikutip dari keterangan Drs. Jannus Lumbantobing dan St.Lingkar Lumbantobing.
Pada jaman dahulu kala, Op.Raja NAMORAHIAN telah memiliki 3 orang anak dari Istri pertamanya br Siahaan yaitu Raja Djae-djae, Bonan Dolok dan Parumarea. Kemudian Istri pertama boru Siahaan ini meninggal. Kemudian, di usia tuanya, Op. Namorahian ini kembali menikah dengan istri keduanya boru Siahaan II. Sementara Op. Raja Djae-Djae juga sudah menikah dan mempunyai anak tiga orang yaitu Op. Tuan, Op. Sotargoling, dan Op.Mogot. Kemudian, dikala Istri kedua Namorahian telah mengandung anak Namorahian, Op. Namorahian Meninggal dunia. Akhirnya dengan melihat situasi dan kondisi bahwa NAMORAHIAN telah meninggal dan Br Siahaan II telah mengandung, maka Op. Raja Djaedjae membawa Boru Siahaan II ini kerumahnya untuk ‘DIPAJABU’ sampai akhirnya melahirkan anak yang diberi nama Op. DATU PANGGANAGANA. Op. Raja Djae-Djae akhirnya membesarkan dan menjadi ayah bagi Datu Panggana-gana serta memasukkan Datu Panggana-gana ke dalam daftar keturunannya, sebagai anaknya yang keempat.
Hal ini terus berlangsung dan menjadi kesepakatan Adat di keluarga NAMORAHIAN dan RAJA DJAEDJAE. Sampai saat ini. Tetapi dibelakang hari ratusan tahun sesudahnya beberapa keturunan Op. Datu Pangganagana (KELOMPOK I) kembali menyatakan (meng claim) bahwa mereka adalah Anak Namorahian, bukan anak Raja DJae-jae, yang menyebabkan perubahan dan kekacauan dalam tata adat yang telah berlangsung.
Dalam beberapa tarombo Tobing sebenarnya sudah banyak tertulis bahwa Datu Pangganagana adalah anak Raja Djae-Djae, Walau akhirnya mereka (Kelompok I) memiliki tarombo sendiri yang menentang hal ini. Dalam buku “POESTAHA TARINGOT TOE TAROMBO ni BANGSO BATAK” yang dikarang Op. W.M.HUTAGALUNG tahun 1926 (Rongkoman I) dalam ejaan lama, dinyatakan bahwa Op.DATU PANGGANAGANA adalah anak keempat dari Op.Raja Djae-Djae. Sementara Pergolakan ini terjadi sekitar tahun 1980-an.
Salah atau benar nya cerita ini seharusnya tidak lah lagi menjadi sesuatu yang harus dipermasalahkan. Kekuatan hukum dari Mahkamah Agung dan kesepakatan Adat yang telah ada seharusnya sudah cukup menjadi Acuan yang mengikat bagi semua keturunan Namorahian terkhusus Keturunan Op.Datu Pangganagana untuk dijalankan. Sehingga tidak lagi ada kesalahanpahaman dan perselisihan yang berlarut-larut.
Kedua belah pihak dan generasi sesudahnya haruslah menghargai dan menghormati jeri lelah kedua belah pihak tanpa membedakan pihak I atau pihak II yang telah mengorbankan waktu, materi, tenaga bahkan air mata untuk mencapai satu titik temu (Kesatuan) silsilah. Kedua belah pihak telah berjuang dan menempuh jalur adat bahkan jalur hukum untuk menyelesaikan permasalahan ini. Apapun hasil akhir dari pencarian kesefahaman ini kedua belah pihak haruslah saling bisa menerima dengan lapang dada dan penuh persaudaraan. Ketika kedua belah pihak sepakat membawa penyelesaian masalah ini ke jalur ADAT dan jalur HUKUM keduanya pasti sudah memahami dan mengantisipasi sebelumnya bahwa akan ada satu hasil keputusan yang disahkan.
Proses-proses mencapai kesefahaman ini dengan semua jalur yang ditempuh pasti telah membawa banyak persoalan sebelumnya, mungkin air mata, kekecewaan, sakit hati bahkan perpecahan diantara yang bersaudara. Namun biarlah semua dilupakan, diampuni, dan marilah saling merangkul dan saling mengasihi satu dengan yang lain. Bagi mereka-mereka yang dulu berjuang untuk menyatukan tarombo ini baik dari pihak I dan pihak II sama-sama adalah pahlawan dan pejuang pemersatu di Pomparan Op.Datu Pangganagana Lumbantobing.
Tetapi dalam pelaksanaanya sampai belakangan ini kadang masih ada terjadi kesalahan tarombo tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi:
- Masih banyak yang belum mengatahui sejarah ini, dan hasil keputusan dari Mahkamah Agung tersebut belum menyeluruh diketahui oleh keturunan Namorahian dan Raja Djae-Djae.
- Dari keturunan Op.Datu Pangganagana sendiri belum seluruhnya (sepenuhnya) mengerti dan menguasai sejarah ini.
- Hanya sedikit dari Keturunan Op.Datu Pangganagana yang ikut berpartisipasi dan ikut serta dalam setiap Adat yang ada secara khusus dalam acara RAJA DJAEDJAE dan NAMORAHIAN.
Sudah ada banyak pendekatan-pendekatan yang dilakukan dimasa-masa yang lalu untuk mensosialisasikan dan menyakinkan keturunan Op.Datu Pangganagana dari Kelompok I dan Kelompok II supaya bersatu saja dan tidak terjadi lagi kesalahpahaman ini.
Melihat dari Faktor-faktor di atas, maka dirasa perlu sekali untuk menjaga dan melestarikan TAROMBO (SILSILAH) tersebut. Secara khusus bagi keturunan Op.Datu Panggana-gana. Hal ini lah yang dilihat dan diamati oleh tokoh-tokoh Tobing keturunan Datu Pangganagana di Medan diantaranya Drs. Jannus Lumbantobing (Mantan Ketua Tobing se Kotamadya Medan dan Ketua Raja Djae-Djae Sekotamadya Medan), yang akhirnya mengundang generasi-generasi muda Pomparan Op.Datu Pangganagana di Medan untuk membentuk Panitia Pembentukan Punguan Pomparan Op. Datu Pangganagana. Hasilnya pada tanggal 29 Juni 2008 Terbentuklah Punguan Pomparan Op. Datu Pangganagana Boru/Bere/Ibebere Medan Sekitarnya Di jalan Karya no.141 Medan Serta Terbentuknya pengurus Periode I yang akan mengelola dan menjalankan Perkumpulan ini.
Memang cara yang paling efektif untuk mempertahankan TAROMBO ini dan eksistensi Pomparan Datu Pangganagana adalah dengan membentuk Punguan Parsadaan ini. Dengan adanya Perkumpulan ini, diharapkan Tarombo akan terpelihara, dan membawa dampak positip bagi setiap keturunan Op.Datupangganagana di masa yang akan datang.
Demikianlah sejarah singkat terbentuknya PUNGUAN PARSADAN POMPARAN OP. DATU PANGGANAGANA LUMBANTOBING BORU/BERE/IBEBERE Medan sekitarnya.
Kiranya Tuhan memberkati kita, dan Kumpulan ini menjadi kemuliaan bagi namaNya.
Penulis,
Harles Lumbantobing.
Sumber :
1. Drs.Jannus Lumbantobing,
2. St.Lingkar Lumbantobing
3. Surat Keputusan MA 22 Oktober 1992
No. 453 PK/Pdt/1989
4. “POESTAHA TARINGOT TOE TAROMBO ni BANGSO
BATAK” yang dikarang Op. W.M.HUTAGALUNG tahun
1926 (Rongkoman I)
5. Buku tarombo Siraja Lumbantobing karangan Adniel L Tobing & Sahala L.Tobing
6. Buku tarombo Batak karangan Batara Sangti ( Op.Buntilan)
------------------------------------------------------------------
NB: Kepada setiap keturunan Namorahian, Raja Jae-jae, terkhusus Op. Datu Pangganagana yang membaca tulisan ini kiranya bisa mensosialisasikan ini kepada semua keturunan Namorahian, baik dalam hubungan sehari-hari, pesta-pesta adat dan hubungan sosial lainnya. Dan jika ada yang butuh informasi lebih lanjut atau tentang tarombo op.Datu Pangganagana bisa email ke saya. Kiranya Tuhan memberkati kita semua, Syalom, Harles.